Faktor Ekonomi dan Budaya Jadi Permasalahan Utama Perempuan Putus Sekolah
Per tahun 2017, Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) mengeluarkan data penyebab anak perempuan putus sekolah yang didominasi oleh faktor ekonomi (30,68%) dan pernikahan dini (12,27%). Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat perekonomian, maka potensi untuk putus sekolah akan semakin besar. Selain itu, faktor wilayah dan budaya yang dianut masyarakat setempat juga mempengaruhi tingkat putus sekolah pada anak perempuan, terutama pada para korban pernikahan dini.
Melihat dari faktor kondisi ekonomi, anak perempuan yang sudah masuk usia remaja (15 tahun) yang tumbuh di lingkungan keluarga dengan tingkat ekonomi rendah ‘otomatis’ bertanggungjawab untuk memikul beban rumah tangga dengan bekerja. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per tahun 2021 mencatat sebanyak 940 ribu penduduk berusia 10-17 tahun bekerja untuk menunjang perekonomian keluarga dan sebanyak 15,03% diantaranya memutuskan untuk putus sekolah.
Selain faktor ekonomi, budaya juga mendominasi alasan perempuan putus sekolah. Terutama budaya di suatu wilayah tertentu yang menganggap perempuan tidak perlu sekolah tinggi dan lebih baik langsung menikah. Kendala kurangnya dana untuk melanjutkan pendidikan malah ‘diatasi’ dengan pernikahan dini bagi para perempuan. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka permohonan dispensasi perkawinan usia anak pada tahun 2021 (65 ribu kasus) dan di tahun 2022 (55 ribu pengajuan).
Tingginya angka pernikahan dini pada anak terutama perempuan menimbulkan risiko berupa;
putus sekolah
memperparah angka kemiskinan
stunting karena gizi buruk pada anak
meningkatkan risiko kematian pada ibu muda
ancaman kanker serviks atau kanker rahim pada anak-anak
Pernikahan dini bagi anak perempuan merupakan sinyal rawan bagi Indonesia karena anak perempuan harus terhenti pendidikannya, sehingga akan menurunkan tingkat kualitas sumber daya manusia.
Padahal, jika didukung oleh pendidikan yang dikembangkan secara efektif, anak perempuan mampu berkontribusi untuk mengubah dunia dan pembangunan bangsa, baik sebagai anak perempuan yang berdaya maupun sebagai ibu rumah tangga. Perempuan dengan pendidikan yang relevan diyakini mampu mendapatkan kesempatan kerja yang lebih luas sehingga memiliki pendapatan yang lebih baik yang dalam jangka panjang akan berdampak pada pemutusan siklus kemiskinan antargenerasi.
#YayasanKhouwKalbe #BeasiswaPendidikan #BeasiswaPerempuan #PerempuanBerdaya
#BeasiswaDJITU #BeasiswaBESTARI
Sumber:
Rizaty, M.A. (2022, April 9). Ada 940 Ribu Pekerja Anak di Indonesia, Banyak yang Putus Sekolah. Diperoleh dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/04/09/ada-940-ribu-pekerja-anak-di-indonesia-banyak-yang-putus-sekolah
Yayasan Kesehatan Perempuan. (n.d). Hari Anak Perempuan Sedunia dan Tantangan Nyata Bagi Anak Perempuan Indonesia. Diperoleh dari https://ykp.or.id/hari-anak-perempuan-sedunia-dan-tantangan-nyata-bagi-anak-perempuan-indonesia/
Nastitie, D.P. (2022, Februari 21). Pendidikan Perempuan dan Hal-Hal yang Belum Selesai. Diperoleh dari https://magdalene.co/story/pendidikan-perempuan-dan-hal-hal-yang-belum-terselesaikan/
Yarrow, N. & Afkar, R. (2020, Desember 14). Gender dan pendidikan di Indonesia: Kemajuan yang masih membutuhkan kerja keras. Diperoleh dari https://blogs.worldbank.org/id/eastasiapacific/gender-dan-pendidikan-di-indonesia-kemajuan-yang-masih-membutuhkan-kerja-keras